PERJUANGAN DI GARIS WAKTU



Oleh: Enni Safitri
“Waktu adalah uang” itulah pepatah mengatakan. Tapi bagaimana jika pepatah itu tak berlaku padaku. Bagaimana jika aku mengantinya dengan “Uang bisa membeli waktu”. Aku terus saja memandangi kata-kata dalam secarik kertas yang telah aku goreskan dengan tinta beberapa menit yang lalu. Kata-kata itu serasa menghipnotisku dan merasuk dalam alam bawah sadarku. Beberapa menit berlalu, tapi mataku masih saja tertuju pada tulisanku. Aku mulai mendalami setiap huruf yang akhirnya menjadi sebuah tulisan dalam kertas tersebut. Apakah aku salah menuliskan kata-kata tersebut. Entah, mengapa aku terus memikirkan sesuatu yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Ah, sepertinya otakku sudah teracuni dengan kata-kata tersebut.
Biarkan aku memperkenalkan diri dahulu. Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta. Selain menjadi mahasiswa, aku juga menggeluti sebuah bisnis. Aku suka berbisnis semenjak masih duduk di sekolah dasar. Sebelum berangkat sekolah, aku suka membantu ibuku menjajakkan kue dan nasi uduk di warung kecil kami. Tak jarang aku membawa beberapa kue dan nasi uduk ke sekolah kemudian menjualnya ke teman-temanku.
Tidak mudah membagi waktu belajar dengan bisnis. Cemooh dan fitnah sana-sini sudah sering kudapati. Namun, aku sama sekali tak menanggapi perkataan mereka. Aku tak sedikitpun malu dengan semua itu. Semua harus dihadapi dengan telinga lebar. Sejak SMA aku sudah tidak meminta lagi uang untuk jatah jajan. Aku bisa membeli keperluanku dengan hasil keringatku sendiri. Aku bangga dengan itu semua. Setidaknya aku bisa meringankan beban ibuku yang membiayai sekolahku dan keempat adikku. Ya, aku dan adik-adikku hanya tinggal bersama ibuku. Jarak umur kami tidak begitu jauh, hanya selang satu sampai dua tahun.
Ayah, sosok pahlawan yang setiap hari kurindukan. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar ayah selalu bahagia disana. Aku selalu berharap agar bisa bertemu ayah lewat mimpi. Akan kusampaikan tanda terimakasihku untuknya. Semua berawal dari himpitan ekonomi yang menjerat keluarga kami. Kala itu, ayah hanyalah bekerja sebagai tukang ojek yang setiap hari mangkal di dekat rumah. Tak banyak yang menggunakan layanan jasa ojek. Mereka lebih memilih menggunakan kendaraan lain atau kendaraan pribadi. Sedangkan ayah harus membiayai sekolah kami. Sedangkan ibu tak sempat membantu mencari uang karena sudah sibuk mengurus adik-adiku yang masih kecil.
Ayahku mulai hutang kesana-kesini demi menghidupi kami. Kebutuhan mulai tercukupi, namun lilitan hutang menanti. Sampai akhirnya, ayah jatuh sakit hingga tak mampu lagi meneruskan menjadi tukang ojek. Seminggu setelah ayah sakit, rentenir datang untuk menagih uang yang telah dijanjikan sebelumnya. Namun, kami tidak kuat untuk membayarnya. Ayahku memohon agar memberi satu kesempatan lagi agar mengampuninya. Tiba-tiba pukulan keras menghantam tubuh ayah berkali-kali hingga tersungkur. Kami tidak bisa berbuat banyak. Tak kuasa kami menahan tangis karena nyawa ayah sudah tak tertolong lagi.
Aku benar-benar tidak menyangka ayah pergi secepat itu. Itulah yang membuatku mandiri sampai saat ini. Sebelum ayah pergi, beliau selalu berpesan agar aku menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mengeluh. Beliau juga berjanji akan melihat kesuksesanku. Terbukti, berkat kegigihanku aku sudah mempunyai sebuah Cafe di umurku yang masih muda. Aku juga sering diundang menjadi salah satu pengisi seminar kewirausahaan. Kini, aku sudah bisa membantu membiayai sekolah adik-adikku. Sekarang, aku bisa membeli semua keperluan ibu dan adik-adikku Selain itu, aku juga selalu mendapatkan IPK yang lumayan bagus..
Dari semua yang aku bisa beli, ada satu yang tidak bisa. Waktu, ya sampai saat ini aku tidak bisa membeli waktu. Apakah aku harus menentang kuasa Tuhan?. Kurasa, aku harus menyingkirkan angan-angan bodoh itu. Biarkan aku berandai satu kali lagi. Andai aku bisa membeli waktu, aku ingin membeli waktu  bersama ayah. Aku ingin beliau melihat kesuksesanku sekarang. Satu kalimat yang ingin aku sampaikan kepadanya “Yah, anakmu sudah kaya, sudah bisa membeli mulut manusia-manusia yang pernah mencemooh kita”.

Aku, Sang Pejuang Rupiah



Oleh: Enni Safitri

Hai pagi,
Kusapa kau hari ini dengan secangkir kopi
Dengan angan tinggi yang selalu menemani
Dan pundi-pundi rupiah yang selalu dinanti                         
Modalnya awalnya adalah duit
Dicampur pertarungan yang menyengit
Lama-lama hutangnya melilit
Sampai ingin sembelit
Memikirkan hidup yang semakin sulit
Akhirnya, putar otak kesana kemari
Mencari solusi agar tidak rugi
Putus asa ingin bunuh diri
Ah ga jadi, aku takut dengan mati                                                                                         
Mulai menata hidup lebih terstruktur
Kurangi malas-malasan di kasur
Tak membiarkan waktu terulur-ulur
Berharap menjadi pengusaha mabrur
Lelah sudah,
Setelah kulalui perjuangan darah
Kini senyumku kembali merekah
Usahaku menuai berkah
Alhamdulillah

TERGUSUR JOGJAKU





(Oleh: Enni Safitri)
Disudut senja aku berjalan
Menapaki kota para seniman
Ditambah lagi kotanya wisatawan
Seolah-olah sudah seperti kawan
Aku dan Engkau Jogjaku yang menawan

Namun, apalah dayaku sekarang
Kau serasa berbeda saat kupandang
Seiring berdirinya bangunan-bangunan yang menjulang
Jogjaku menjadi penuh dengan kemacetan
Mobil dan motor sudah terbiasa berhimpit-himpitan

Tergusur Jogjaku,
Resapan air hilang tergerser bangunan-bangunan yang angkuh
Kepada siapa aku harus mengeluh
Jika ribuan peluh tak juga ampuh
Untuk mempertahankan jogjaku agar tetap kukuh
Kukuh dalam mempertahankankan kenyamanan
Dan juga kebudayaan

Jogjaku ora didol
Wis cukup digawe bodhol