Mejikuhibiniu


Masa kecil. Memang tak akan habis jika menceritakan tentang masa kecil. Bermain, tertawa,nakal,rewel itulah dunia masa kecil. Begitu pula denganku. Akupun punya tempat mengasyikan untuk bermain. Yaitu di sudut kamarku. Disana terdapat sebuah lemari yang biasa aku gunakan untuk bermain. Di lemari tersebut aku bisa bersembunyi disebelahnya. Aku sangat asyik bermain dengan boneka-bonekaku, mencoret-coret lemari dengan pensil warna. Dan mencorat-coret tembok dengan pensil alis dan lipstik milik mama.

Aku adalah anak yang pendiam. Sangat diam saat disekeliling orang dewasa, maupun teman sebayaku. Namun saat bermain dengan boneka-bonekaku aku tak terlihat seperti anak pendiam. Aku bisa bercerita apapun dengan mereka, dan mengajak mereka komunikasi seperti halnya teman.

 “Felicia ini aku kasih minum buat kamu” kataku pada salah satu bonekaku. Aku terus saja berbicara dengan Felicia tanpa menghiraukan siapapun. Sampai suatu hari ada tetanggaku yang datang dan melihat aku berbicara dengan bonekaku. Aku sedikit mendengar pembicaraan mereka tentangku. Dia bertanya kepada mama “ Bu, anaknya gak papa kan? Saya lihat dari tadi seperti bicara sendiri”. Kemudian mama menjawab ”Biasa lah bu, namanya juga anak kecil masih suka berimajinasi”.

Saat itu aku tak begitu memikirkan tentang kebiasaanku saat itu. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap aneh. Namun ada pula yang menganggapnya hal  yang wajar. Karena itulah dunia anak-anak melakukan hal yang tak dimengerti oleh orang dewasa.
Namun, jujur saja aku sangat nyaman menyendiri dan bermain dengan boneka-bonekaku dibandingkan bergabung dengan teman-temanku.Apakah hal itu masih wajar atau......(bersambung)

Surat Terbuka Untuk Calon Suamiku

Untukmu, yang masih terus kusebut dalam doa
Sumber Klik disini




Hey, sedang apa kamu sekarang?
Kubayangkan dirimu sedang tenggelam ditengah kesibukan. Serius menatap layar, memeras otak untuk belajar, atau tengah asyik berbincang bersama kawan seperjuangan. Sadarkah dirimu, kamu selalu tampak lebih gagah saat sedang berkonsentrasi penuh seperti itu? Aku ingin segera bisa menyapukan jariku di tulang rahangmu. Meletakkan kepala pada jarak antara kepala dan bahumu.
Aku, merindukanmu. Dari dulu.

Sedang apakah dirimu sekarang?
Berani bertaruh, keberadaan calon istrimu ini sedang tak sedikit pun berkelebat di pikiran. Kau kerap menyingkirkanku demi bisa fokus mengejar impian. Tapi tak layak rasanya jika kuangkat suara keberatan. Menyadari bahwa kau telah dipersiapkan sepatutnya membuatku merapal syukur tak berkesudahan.
Aku selalu membayangkan bagaimana nanti kita akan bertemu. Apakah akan lucu, romantis atau justru sebenarnya kau dan aku sudah saling mengenal dari dulu? Apapun jalannya, aku berharap kelak kita akan saling menemukan. Bertukar pandangan untuk kemudian tahu:
Akulah muara akhir petualanganmu. Kehadiranmu, mencukupkanku.